Pengkotbah

Kotbahkan Kotbah Alkitabiah!

Kesaksian Budi

KESAKSIAN PRIBADI

Budi Kasmanto

 

Saya lahir di Solo, Jawa Tengah, tahun 1954. Tidak begitu ingat dengan masa kecil, tetapi menyadari bahwa pada waktu remaja saya hidup dalam dosa, bahkan sampai menjadi pemuda dan dewasa. Ayah saya seorang polisi, beragama Islam KTP, dan setelah pensiun mengikuti aliran kebatinan dan menjadi “dukun”  penyembuh orang sakit. Kemudian ayah saya mengenal Kristus diikuti ibu dan saudara-saudara saya. Saya dibaptis ketika klas tiga SMP tetapi tidak memahami dengan benar arti menjadi pengikut Kristus.

Kenakalan saya mulai terjadi pada waktu klas satu SMA, dengan akibat harus duduk di kelas ini selama tiga tahun. (Artinya, dua kali tidak naik kelas!). Sesudah kenaikan kelas tiga SMA saya tinggalkan rumah orangtua di Solo dan mengikuti pakde di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Saya tamat SMA di Purwakarta, 1974, kemudian merantau di Jakarta dan pernah tinggal di Semarang dan Surabaya. Kadang-kadang pulang dan tinggal di Solo sementara waktu.

Saya hidup sebagai gelandangan baik sosial maupun rohani. Secara sosial saya tidak pernah punya pekerjaan tetap dan selalu menumpang pada saudara atau teman. Secara rohani saya begelandangan karena tidak tahu siapa diri saya, apa identitas saya, untuk apa saya ada dan kemana saya akan menuju. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut saya membaca buku-buku psikologi, filsafat dan sastra yang kesemuanya tak memuaskan jiwa saya.

Merasa tak berguna saya menjadi putus asa. Tetapi tidak ingin bunuh diri. Merasa malu membayangkan berita-berita tentang diri saya yang mengakhiri hidup secara menyedihkan seperti itu.

Suatu malam saya mengalami hal yang tak pernah saya lupakan. Sementara berbaring perasaan putus asa menekan saya sampai saya merasa lebih baik mati saja. Lalu saya atur posisi tubuh saya. Saya tidur terlentang, kaki saya luruskan, kedua tangan saya lipat di dada… seperti orang biasanya mengatur posisi jenazah. Saya pejamkan mata dan bersiap-siap… mau mati! Tetapi sebuah pertanyaan yang lembut namun tegas dan jelas menyelinap dalam hati atau pikran saya: “Kamu mau kemana?” Saya terguncang dan terbangun, terduduk dengan tangan memeluk lutut. Lalu saya berkata pada diri sendiri bahwa saya tidak boleh mati sebelum tahu dengan pasti kemana akan menuju.

Pada tahun 1982 saya menulis cerpen dan pada 1984 saya menemukan cerpen itu dimuat di satu majalah di Jakarta. Berbekal mimpi menjadi sastrawan besar saya ke Bali dengan harapan bahwa pulau pariwisata ini akan memberi inspirasi untuk menulis. Tetapi justru di pulau ini saya ditangkap Tuhan.

Untuk hidup saya di Denpasar, saya bekerja menjadi sopir. Majikan saya seorang Kristen dan saya mengantar keluarga ini ke gereja. Setiap Minggu setelah majikan dan keluarga turun, saya melarikan mobil dan mencari tempat parkir jauh-jauh dari gereja. Saya menunggu mereka dengan membaca. Seperti saya telah sampaikan saya sudah dibaptis, tetapi saya tidak peduli dengan kekristenan dan “alergi” dengan gereja.Tetapi suatu hari Minggu, setelah majikan saya turun di pintu gereja, petugas parkir gereja naik ke mobil dan mengantar saya ke tempat parkir. Dan setelah mobil diparkir, petugas parkir itu memegang tangan saya, mengajak saya masuk ke gereja. Dan, tanpa sedikit pun bantahan saya mengikutinya.

Duduk di dalam gereja, di bangku paling belakang, saya bertanya: “Tuhan, bagaimana mungkin Engkau membawa saya kemari?” Tuhan menjawab melalui khotbah pendeta waktu itu dari Mazmur 139, terutama ayat 7 yang berkata: “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?”  Saat itu air mata saya mengucur deras sama seperti saat saya dibaptiskan belasan tahun lalu. Bedanya, saya lebih merasakan kedalaman kasih Tuhan yang dilimpahkan dalam hati saya.

Sejak itu, pembaca buku filsafat dan sastra ini menjadi pembaca Alkitab. Saya tidak ingat berapa kali saya telah membaca seluruh Alkitab. Saya makin mengenal Yesus Kristus, tokoh utamanya. Saya semakin merasakan kasih dan pengampunan-Nya. Saya pernah kursus wartawan di Jakarta dan beberapa bulan kuliah kewartawanan di Surabaya. Kini orang yang pernah bercita-cita jadi wartawan ini ingin menjadi pembawa Kabar Baik. Lalu saya masuk sekolah theologia dan memulai pelayanan penuh waktu pada tahun 1994.

Kini saya dikaruniai seorang isteri dan dua puteri. Perjalanan studi saya memang tidak bagus. Juga perjalanan pelayanan saya. Bahkan pertumbuhan pribadi atau karakter saya pun tidak cukup memadai. Tetapi setelah melewati pergumulan panjang kehidupan iman saya, saya semakin menikmati kasih karunia-Nya yang berlimpah-limpah. Mengisi hidup saya selanjutnya, saya mau agar Tuhan memakai saya dan keluarga saya untuk menyampaikan Injil kasih karunia-Nya kepada lebih banyak orang.

Badung, 16 September 2011

4 Maret 2012 Posted by | Kesaksian | , , , , , , , , | Tinggalkan komentar